. . . sambungan
Situasi umum pasukan Jepang ketika itu menunjukkan sikap enggan dan tidak peduli terhadap keamanan dan ketertiban yang mengakibatkan terjadinya kekosongan pemerintahan karena pihak Indonesia sendiri belum kuat untuk bertindak menghadapi RAPWI seperti halnya di Surabaya. Dengan demikian semua pekerjaan pengungsian dilakukan oleh dan atas nama RAPWI Sekutu dan RAPWI Belanda. Dalam rangka kegiatan ini anggota korps kepolisian dan korps militer bekas tawanan di kamp-kamp dipersenjatai dan kembali bertugas. Sebagai pemerintahan sipil NICA dipersenjatai atau dinamakan AMACAB (Allied Military Administration Civil Affairs Branch) untuk dapat memelihara keamanan.
Bekas pejabat polisi dan militer (tentara KNIL) yang datang melaporkan diri sesuai dengan kedudukannya zaman Hindia-Belanda diangkat oleh Sekutu dan Belanda untuk melaksanakan tugas pengungsian itu. Semua operasi pengungsian dilaksanakan di bawah pengawasan RAPWI di Jakarta, Bogor, Bandung dan tempat lain. Demikian pula halnya di Jawa Tengah, dari Ambarawa, Semarang dan Magelang. Akibatnya mereka harus berhadapan dengan tentara dan rakyat Indonesia, khususnya di Surabaya yang melakukan perlawanan yang gigih. Kejadian ini mendorong Sekutu menyadari bahwa penyelesaian tugas transportasi bekas tawanan dan interniran tidak mungkin dilaksanakan tanpa melibatkan pihak para pejuang Indonesia.
Adapun perkembangan selanjutnya bahwa aspirasi rakyat Indonesia di Sumatera ke arah Indoensia Merdeka makin lama makin tumbuh dengan subur. Dalam buku Neumann dan Van Witsen juga disebutkan bahwa sikap politik itu telah bersemi dalam diri pemuda Indonesia. Di Sumatera mereka berhasrat membentuk kelompok perjuangan seperti di Jawa.
Di antara mereka, kelompok pemuda di bawah pimpinan Letnan Kolonel Hasan Basri telah menyerbu hotel Cina yang semula bernama Mountbatten Hotel karena anggota perwakilan RAPWI menginap di sana. Kemudian berganti nama menjadi Hotel Merdeka dan bendera Merah-Putih pun dikibarkan di gedung tersebut. Mereka adalah bekas anggota Heiho dan romusha di bawah pimpinan seorang bekas perwira Giyugun (PETA). Para pemuda pejuang itu memberi berbagai nama pasukannya, seperti barisan Kucing Hitam, Hantu Kubur dan lain sebagainya.
Dalam jangka waktu yang singkat telah terjadi ketegangan dan pergolakan berupa penculikan dan pertempuran antara pihak pemuda dan Sekutu di sana. Sejak bulan November 1945, daerah Sumatera makin dikuasai oleh Republik Indonesia.
Jumlah bekas tawanan perang dan interniran yang harus diangkut menurut buku Dr. D. Van Velden De Japanese Interneringskampen Voor Burgers Gedurende de Tweede Wereld Oorlog tercatat sebagai berikut :
PULAU SUMATERA
Jumlah tawanan perang dan interniran :
- Pria : 4.000
- Wanita : 4.500
- Anak-anak : 4.700
- Belanda : 12.000
- Inggris : 700
- Amerika : 10
- Lain-lain : 500
- Belanda : 1.100
- Inggris : 170
- Lain-lain : 10
PULAU JAWA
Jumlah tawanan perang dan interniran :
- Pria : 29.000
- Wanita : 25.000
- Anak-anak : 29.000
- Belanda : 80.000
- Inggris : 700
- Amerika : 100
- Lain-lain : 1.800
- Belanda : 11.000
great
ReplyDelete