Translate

Saturday, March 18, 2017

SITUASI DI SUMATERA PASCA PERANG DUNIA II (BAGIAN 1)

Kondisi dan situasi di Pulau Sumatera berbeda dengan di Pulau Jawa ketika perang usai. Buku De Sumatera Spoorweg, karya H. Newumann dan E. Van Witsen, terbitan 1984, dengan kata pengantar Pangeran Bernhard (suami Ratu Juliana) dari Kerajaan Belanda, banyak mengisahkan kenyataan di Sumatera waktu itu. Menurut buku itu, ketika perang usai masalah pembebasan tawanan perang dan interniran sipil di Sumatera berbeda sekali dengan di Jawa karena timbul suatu kekosongan pemerintahan di Sumatera.

Jepang tidak bersedia bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban karena takut terhadap balas dendam akibat kekejaman mereka pada waktu pembuatan jalan kereta api di Sumatera dan Myanmar. Proyek tersebut menelan banyak korban baik dari tawanan perang maupun romusha, yang tidak mungkin dipertanggung jawabkan dalam sidang pengadilan militer di Tokyo.

Seminggu sebelum kapitulasi Jepang (15 Agustus 1945), tepatnya 8 Agustus 1945, Komandan Kamp No.9 (dihuni oleh tawanan perang dan pekerja Kereta Api Sumatera) mengatakan bahwa pekerjaan proyek jalan kereta api telah selesai. Tak seorang pun di antara mereka (orang Jepang) yang bersedia mengatakan tentang berita penyerahan dan penghentian perang itu. Mereka hanya menyebutkan telah terjadi gencatan senjata dalam Perang Pasifik.

Dalam hubungan itu, pada 23 Agustus 1945, Kapten J.S. Rosier (Belanda) dipanggil oleh Komandan Jaga Kamp No.9 dan memberitahukan hal tersebut. Tawanan yang berkewarganegaraan Inggris dan Australia boleh dipulangkan ke negara masing-masing. Sementara itu pada 15 September 1945 Lady Mountbatten datang mengadakan inspeksi di Pekanbaru. Pada 22 September 1945, tawanan Inggris dan Australia meninggalkan Pekanbaru, tetapi tawanan Belanda masih tetap tinggal di tempat.

Dengan perkembangan baru ini, maka kamp interniran di Sumatera secara resmi ditutup satu persatu. Semua bekas tawanan dipindahkan ke Kamp Utara, yaitu Kamp No.2. Dari kamp ini, di antara para bekas tawanan militer dan polisi diangkat kembali untuk bertugas dan disalurkan ke Padang, Medan dan Palembang. Bekas tawanan lainnya, banyak yang meninggalkan tempat itu secara diam-diam menjelang keadaan politik yang makin tegang dan ancaman terjadinya huru-hara. Pihak penyelenggara proyek pembuatan jalan kereta api tidak pernah menghiraukan nasib tawanan yang membawa Jeoang digugat pertanggungjawabannta di pengadilan militer Tokyo.

Pada saat Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, terdapat 75.000 orang tentara Jepang tersebar di seluruh Sumatera sebagaimana dilaporkan oleh Jepang kepada Sekutu tanpa memberikan rincian lokasi konsentrasi kekuatan mereka. Tentara Jepang diperintahkan agar tetap berada di tempat masing-masing dan melaksanakan tugas menjaga keamanan dan ketertiban umum sampai tentara Sekutu tiba. 

Pada 17 dan 19 Agustus 1945, Sekutu mengirim patroli berupa kapal kecil (kapal tambang) yang membawa bahan pangan dan obat-obatan. Pada tanggal 21 Agustus 1945, diterima laporan dari Dumai, sebuah kota minyak di Sumatera, mengenai adanya konsentrasi besar tentara Jepang yang sedang bergerak di Sumatera Tengah. Laporan itu kemudian disusul dengan berita kedua yang langsung diteruskan ke Markas Besar Sekutu di Sri Lanka (Ceylon) dengan pesar agar menunggu instruksi lebih lanjut.

Sambil menunggu instruksi lebih lanjut, Mayor Lodge telah menyewa sebuah kapal Cina untuk meninjau Bagansiapiapi atas permintaan Moechtar, pemuka masyarakat, yang memberitahukannya bahwa tentara Jepang telah berangkat pada tanggal 24 Agustus 1945 dengan membawa seluruh perlengkapan perangnya. Peristiwa ini telah menimbulkan keresahan yang menurut versi Belanda telah terjadi pemberontakan.

Keadaan itu menjadi reda kembali setelah didaratkan anggota polisi bersenjata. Hal itu dapat dimaklumi karena sebagian besar penduduknya adalah keturunan Cina. Atas perintah Sekutu, pemerintah NICA segera dibentuk dengan Moechtar sebagai Kepala Bagian Pemerintahan, Doelah Oesman sebagai Kepala Polisi, dan Lu Ting Poh sebagai Kepala Masyarakat Cina.

. . . bersambung

No comments:

Post a Comment