Sementara dirasakan bahwa hubungan segitiga Inggris - Belanda - Indonesia semakin tegang, Laksamana Mountbatten menunjuk Letnan Jenderal Christison untuk mengurus tugas Sekutu di Pulau Jawa selaku Kepala AFNEI karena dianggap sebagai orang yang bijaksana. Letnan Jenderal Christison tiba di Jakarta pada 23 September 1945, sedangkan Belanda tidak bersedia mengakui Republik Indonesia. Kedua negara penjajah, baik Inggris maupun Belanda, mustahil melaksanakan kembali politik kolonialnya karena telah didahului oleh proses pertumbuhan yang cepat yang menuntut kemerdekaan Indonesia.
Tetapi dalam hal itu, Sekutu (Inggris) tidaklah mempertimbangkan secara politis dalam tindakannya untuk melaksanakan tugas pengangkatan itu karena sudah ada organisasi RAPWI. Yang penting bagi mereka adalah masuk wilayah Republik Indonesia untuk mendatangi kamp interniran tanpa menghiraukan kedudukan Indonesias yang telah memproklamasikan kemerdekaannya. Dalam hal ini, seharusnya mereka meminta izin terlebih dahulu kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Namun demikian, pada tanggal 26 September 1945 Letnan Jenderal Christison menyatakan harapannya agar dapat segera dimulai perundingan politik antara pihak-pihak yang bersengketa, Jepang dan pemimpin-pemimpin Republik Indonesia di luar daerah kunci (key areas) diharapkan dapat bertanggung jawab sendiri atas wilayahnya masing-masing.
Pernyataan tersebut oleh pihak Republik Indonesia dianggap sebagai suatu sikap pengakuan de facto dari Sekutu. Belanda dalam hal ini hanya dapat terperangah dan merasa sangat kecewa atas sikap tersebut. Kekecewaan Belanda tetap besar walaupun Laksamana Mountbatten dan Letnan Jenderal Christison mengatakan akan memperbaiki pernyataan itu. Belanda meminta agar Republik Indonesia disingkirkan, dan mereka tidak bersedia berhubungan lagi. Mereka meminta agar Sekutu (Inggris) segera menduduki tujuh kota kunci yang strategis.
Pada bulan Oktober 1945, Inggris menyanggupi untuk memperluas daerah-daerah kunci termasuk Bogor, Bandung dan Magelang agar dapat melindungi konsentrasi APWI di kota-kota tersebut. Lebih dari itu Sekutu tidak bersedia melibatkan diri. Kenyataannya permintaan Belanda mengenai tujuh daerah kunci memang sudah ada, yaitu Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, Ambarawa dan Magelang.
Sejarah mencatat bahwa pertempuran antara pihak Republik Indonesia dengan Sekutu bertujuan untuk memperebutkan yuridiksi kekuasaan atau wewenang angkutan tawanan perang dan APWI. Pertempuran terutama berkobar di Jawa Timur dan Jawa Tengah (Surabaya, Semarang, Ambarawa, dan Magelang) yang menimbulkan banyak korban dan menyulitkan pihak Sekutu sendiri.
Akhirnya dibentuk Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang dan APWI (POPDA) yang lokasinya bertempat di Solo, tepatnya di lapangan terbang Panasan (Adi Soemarmo) dengan nama POPDA I. Penentuan tempat ini sesuai dengan pilihan Sekutu.
Sejak Oktober 1945 Sekutu sudah dihadapkan pada pertikaian bersenjata dan pertempuran seperti yang terjadi di Jakarta dan Bogor, kemudian dengan perkembangan situasi yang membahayakan di Bandung. Pertempuran serupa terjadi lagi di Semarang, Ambarawa dan Banyubiru. Pada bulan November terjadi perlawanan rakyat di Surabaya. Rentetan peristiwa tersebut akhirnya menyadarkan Sekutu bahwa pekerjaan untuk mengangkut tawanan perang dan interniran sipil dari pedalaman Republik Indonesia tidak dapat diselenggarakan tanpa melibatkan pasukan bersenjata pemerintah Indonesia.
Situasi itu telah mendorong Laksamana Mountbatten menempuh kebijakan untuk melarang pasukan Belanda mendarat di Kepulauan Nusantara pada awal November 1945, tetapi di alihkan ke Malaka.
. . . bersambung
No comments:
Post a Comment