Translate

Sunday, March 19, 2017

KETEGANGAN ANTARA INGGRIS - BELANDA - INDONESIA (BAGIAN 2 - SELESAI)

. . . sambungan

Sebelumnya Belanda telah memperoleh izin untuk mendaratkan pasukannya di Indonesia. Namun pertimbangan Laksamana Mountbatten ternyata benar karena keadaan di Pulau Jawa pada bulan November 1945 makin gawat, dan pasukan Sekutu harus terlibat pertempuran sengit di Surabaya. Selain itu, pasukan Sekutu juga harus meninggalkan Magelang, bahkan ke luar dari Banyubiru, Ambarawa dan Semarang. Kemudian pertempuran-pertempuran yang melibatkan pasukan Sekutu menjalar ke daerah Jawa Barat.
Laksamana Mountbatten mengusulkan agar pasukan Sekutu di Jakarta diperkuat dengan divisi Inggris yang berkedudukan di Thailand. Selanjutnya hanya pasukan di Semarang yang diungsikan, sedangkan Surabaya akan tetap diduduki sampai persetujuan politik Belanda - Indonesia dapat diselenggarakan. Laksamana Mountbatten menyetujui rencana serangan ke daerah Jawa Barat dan mendaratkan tentara Belanda di pulau Jawa. Yang pertama kali didaratkan adalah Brigadir Marinir di Surabaya.

Pada 16 Desember 1945 pemerintah Inggris di London memberitahukan kepada pemerintah di Den Haag yang menyetujui usul Laksamana Mountbatten. Tetapi tidak akan ada divisi dari Thailand yang dikirim ke Jakarta, dan menyimpang dari usul Laksamana Mountbatten, diperintahkan bahwa tentara Belanda tidak boleh mendarat di Jakarta. Hanya satu brigade saja diperbolehkan ikut mendarat di Surabaya. Tambahannya, dalam rencana yang dinamakan ofensif ke Jawa Barat, Sekutu hanya membolehkan Belanda mengadakan pembersihan di Jakarta.

Keputusan yang terakhir ini telah membuat Belanda sangat kecewa. Menurut pendapat Belanda, posisi Inggris makin lemah dan Belanda merasa sedih dan dihina. Kemarahan Belanda makin memuncak ketika Letnan Jenderal Christison pada 23 Desember 1949 mengumumkan bahwa dia dan Perdana Menteri Soetan Sjahrir telah sepakat untuk menggunakan pasukan Republik Indonesia dalam mengangkut bekas tentara Jepang dan APWI bangsa Eropa. Sekutu berpendapat bahwa membebaskan para warga bekas interniran secara damai dari daerah pedalaman Republik Indonesia lebih baik daripada berkonfrontasi yang bisa menimbulkan korban.

Harapan bahwa Tentara Republik Indonesia dapat memberikan bantuan kerja sama mengenai pengungsian tawanan dan interniran itu, telah melahirkan persetujuan antara Markas Besar AFNEI dan Markas Besar Tentara Indonesia. Persetujuan itu ditandatangani oleh Jenderal Wingrove (Sekutu) dan Mayor Jenderal Sudibyo dari Markas Besar Tentara Indonesia pada 10 Januari 1946.

Perkembangan yang demikian telah menghantui pikiran Belanda. Mereka menafsirkan bahwa kerja sama Republik Indonesia dengan Sekutu sebagai pengakuan de facto Republik Indonesia bersama tentaranya, sebagaimana diuraikan oleh Perdana Menteri Belanda Gerbrandy dan seorang ahli hukum internasional Prof. J.G. Resink.

Sejak tahun 1946, silang pendapat antara Inggris dan Belanda terus berlangsung. Puncak perselisihan antara kedua pihak itu terjadi, karena Inggris merasa kesal dan menganggap Belanda bersikap bodoh. Di pihak lain, Belanda menuduh Inggris terlibat dalam masalah dekoloniasi yang terjadi di India. Belanda tidak rela Hindia-belanda di dekolonisasi. Masyarakat Belanda di Hindia-Belanda menentangnya dan terus merintangi. Mereka tentu tidak dapat menyetujui "pembebasan" dengan cara demikian. Sementara itu, selama POPDA menjalankan tugasnya hubungan antara Republik Indonesia dan Sekutu masih juga diliputi rasa kekhawatiran akibat terjadi pertempuran antara kedua pihak. Keadaan yang demikian itu berjalan terus dan oleh pihak Indonesia disebut sebagai keadaan, "No peace, no war".
 
Pembicaraan antara perwira tinggi Indonesia dan Jepang mengenai pengangkutan pasukan Jepang. Disebelah kiri : Letnan Jenderal Urip Sumohardjo dan Jenderal Sudirman.

Perjanjian antara Markas Besar AFNEI dengan Markas Besar Tentara Republik Indonesia menunjukkan bahwa POPDA mempunyai tugas yang sangat penting, yaitu mengangkut bekas tentara Jepang dari daerah pedalaman ke Pulau Galang. Tugas ini mempunyai konsekuensi melucuti senjata tentara Jepang.
Suatu hal yang sangat menakjubkan dan mengagumkan karena Republik Indonesia yang tidak berpengalaman, telah mendapat kepercayaan dari Sekutu untuk menyelesaikan masalah yang dipandang sangat penting berkaitan dengan urusan senjata dan harus diselesaikannya sendiri.

SELESAI.

No comments:

Post a Comment