. . . sambungan
Pada 17 Januari 1946 diadakan perundingan lebih lanjut di Markas Besar Sekutu di Jakarta antara pimpinan dan staf tentara Inggris dengan staf Tentara Keamanan Rakyat. Dalam rapat tersebut diambil keputusan bahwa pengungsian APWI akan dilaksanakan secepat mungkin. Tentara Keamanan rakyat akan memberitahukan dalam tempo 24 jam sebelumnya mengenai waktu dan tanggal datangnya setiap kereta api yang mengangkut APWI.
Ditetapkan bahwa Tentara Keamanan Rakyat akan memberitahukan secepat mungkin jumlah seluruh APWI yang akan diangkut dari pedalaman pulau Jawa. Markas Besar Sekutu juga mengirimkan informasi kepada Tentara Keamanan Rakyat mengenai perkiraan lokasi kamp-kamp. Perwakilan Tentara Keamanan Rakyat meminta persetujuan tertulis dari Sekutu berisi jaminan bahwa bekas APWI tidak dipersenjatai kembali dan digunakan untuk memerangi Republik.
Prof. Resink, ahli hukum internasional dari Belanda, memberikan komentarnya mengenai hal ini bahwa persetujuan antara pihak Sekutu dan pimpinan Tentara Keamanan Rakyat tentang pengungsian APWI dan bekas tentara Jepang merupakan suatu perjanjian internasional yang berarti suatu pengakuan de facto terhadap Republik Indonesia.
Sementara itu, Logemann yang tidak setuju adanya perjanjian internasional tersebut, dalam suratnya kepada van Kleffens tanggal 18 Januari 1946 antara lain mengatakan :
"Masalah lain adalah bahwa pihak Sekutu (Inggris) di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah menyetujui suatu perjanjian dengan Republik, dalam hal ini Tentara Keamanan Rakyat sebagai pihak yang berdiri sendiri dan berdaulat memperoleh sebagian dari tugas tentara Sekutu. Hal ini merupakan pengakuan nyata terhadap 'Republik Indonesia' dan kita sangat keberatan atas tindakan Inggris tersebut".
Sebenarnya pada bulan Januari 1946 Tentara Keamanan Rakyat telah berganti nama menjadi Tentara Republik Indonesia yang secara resmi digunakan pada tanggal 23 Februari 1946. Namun, dalam risalah rapat antara Sekutu dan Indonesia masih menggunakan istilah Tentara Keamanan Rakyat. Mungkin pihak Sekutu dan Belanda pada waktu itu belum mengetahui atau belum biasa menggunakan istilah Tentara Republik Indonesia.
Pada 23 April 1946 dengan menggunakan tiga pesawat terbang buatan Jepang dan memakan tanda Merah-Putih, Mayor Jenderal Sudibyo beserta rombongan mendarat di lapangan udara Kemayoran. Hal ini merupakan peristiwa yang pertama kali pesawat terbang Republik Indonesia mendarat di lapangan udara yang dikuasai Sekutu.
Rombongan Republik Indonesia diterima dengan ramah oleh tentara Sekutu. Tetapi pemerintah Belanda menyampaikan protes kepada pimpinan tentara Sekutu sehubungan dengan pendaratan pesawat terbang Republik Indonesia karena hal tersebut dilakuka tanpa izin mereka.
. . . bersambung
No comments:
Post a Comment