Translate

Friday, March 17, 2017

PELAKSANAAN PERINTAH LAKSAMANA MOUNTBATTEN (BAGIAN 2)

. . . sambungan

Konsul Swiss di Batavia, Keller sejak awal sudah mengambil prakarsa dan memberikan bantuannya kepada para bekas tawanan dan interniran itu. Begitu pula Konsul Swedia di Batavia dan Andre Jansman di Surabaya tidak ketinggalan memberi bantuan kepada para interniran itu. Dengan demikian, diperoleh gambaran bahwa keadaan di Batavia memang serba tumpang tindih. Pimpinan tertinggi Jepang sendiri hanya bersikap acuh tak acuh dan tidak mau mengambil prakarsa untuk menolong para interniran. Demikian pula halnya dengan instansi pemerintah yang harikatnya berada di tangan Republik Indonesia.

Pemerintah Republik Indonesia sampai akhir 1945 terus sibuk menertibkan diri dalam rangka mempersiapkan kepindahannya dari Jakarta ke Yogyakarta. Salah satu contoh dari kesibukan itu adalah pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian berganti nama menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang diresmikan pada 5 Oktober 1945.

Pada Januari 1946, keadaan mulai tampak teratur baik sesudah adanya Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta. Kemudian, pihak Republik Indonesia harus mengembangkan organisasi kemiliteran itu dalam bentuk satuan divisi, resimen dan batalion. Selain itu masih harus menyusun badan-badan pemerintah lainnya di seluruh wilayah kekuasaan negara Republik Indonesia. Untuk menangani tugas pengungsian bekas tentara Jepang dan APWI, dibentuk sebuah badan yang diberi nama Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang dan APWI (interniran) atau singkatannya POPDA.

Kehadiran berbagai organisasi Palang Merah yang didirikan secara perorangan maupun pihak konsulat asing di Batavia tidak memiliki status resmi (official status). Baik pihak Jepang maupun Republik Indonesia tidak berkewajiban untuk menjalin hubungan dan kerja sama dengan organisasi itu. Mereka diijinkan bergerak atas inisiatif sendiri selama kegiatan itu mematuhi kebijaksanaan Panglima Tertinggi Sekutu, Laksamana Mountbatten, antara lain tidak membolehkan para interniran meninggalkan kampnya masing-masing. Palang Merah yang telah ada pada waktu pecah perang yang dianggap oleh pemerintah pendudukan Jepang sebagai badan resmi memperoleh fasilitas transportasi dan lain-lain.

Sesungguhnya, Komite Palang Merah Internasional telah berdiri di Indonesia sejak sebelum perang dan untuk pulau Jawa berada di bawah pimpinan Weidmann. Tetapi sikapnya yang tidak menunjukkan kepedulian terhadap para penghuni kamp, telah mengecewakan kalangan orang Belanda. Mereka mengkritik dan menganggap bahwa Weidmann bukan orang yang berkepribadian tangguh dan mempunyai integritas untuk jabatan penting itu, selama masa pendudukan Jepang. Demikian menurut W.F. Wertheim.

Pada bulan Oktober dan November 1945 tenaga bantuan dari Palang Merah dan Organisasi RAPWI Belanda datang dengan mengikutsertakan badan pemerintah sipil yang dikenal dengan nama NICA untuk memulihkan kekuasaan kolonial Belanda di Indonesia.

Menurut laporan sumber Belanda, pada minggu pertama setelah kapitulasi Jepang keadaan di Pulau Jawa tenang. Hingga bulan September 1945 Palang Merah dan RAPWI Belanda masih dapat bergerak bebas di pulau Jawa. Bahkan pihak Belanda melaporkan mereka berhasil melaksanakan tugas dengan baik di beberapa tempat. Berkat kegiatan mereka banyak penghuni kamp wanita dan anak-anak di Jawa Timur dan di Jawa Tengah, misalnya dari Ambarawa dan Semarang, dipindahkan ke Surabaya dan Malang.

Adapun sikap Jepang dalam menghadapi hal tersebut, pada umumnya tetap pasif dan tidak memberikan bantuan tetapi juga tidak menghalangi. Tetapi di beberapa tempat, ada pula yang menyediakan transportasi yang dimungkinkan berkat bantuan dan setelah Konsul Swiss, Keller di Surabaya memimpin pekerjaan Palang Merah. Para wanita dan anak-anak telah diangkut dari kamp-kamp di Jawa Tengah ke Bandung, Jakarta, Semarang, dan Sueabaya. Di antara mereka terdapat banyak yang menderita sakit, berasal dari kamp Ambarawa kemudian diangkut ke rumah sakit di Magelang.

. . . bersambung

No comments:

Post a Comment