Translate

Saturday, March 18, 2017

PELAKSANAAN PERINTAH LAKSAMANA MOUNTBATTEN (BAGIAN 3)

. . . sambungan

Setelah pertengahan bulan September 1945, masyarakat di daerah Republik Indonesia sudah merasakan makna kemerdekaan dan mulai sadar akan kemandirian mereka berkat proklamasi 17 Agustus 1945. Masyarakat mulai membentuk organisasi-organisasi untuk mendukung perjuangan kemerdekaan seperti satuan-satuan bersenjata, yang kemudian melahirkan Badan Keamanan Rakyat (BKR - 22 Agustus 1945) dan setelah beberapa bulan diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR - 5 Oktober 1945).
Selain itu, telah terbentuk pula berbagai organisasi kelaskaran bersenjata yang berafiliasi dengan partai politik. Barisan Banteng, Hizbullah dan organisasi pemuda lainnya yang siap untuk menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah satuan tentara dan para pemuda yang tergabung dalam organisasi bersenjata mulai bergerak, maka kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Surabaya dan tempat lainnya menjadi berubah keadaannya dan tidak aman lagi bagi badan-badan bentukan Belanda, yaitu Palang Merah, RAPWI dan NICA.

Warga Belanda tidak aman meninggalkan kamp tawanan mereka karena khawatir diganggu keselamatannya. Sehubungan dengan keadaan yang gawat tersebut para pemimpin Indonesia, antara lain Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir memperingatkan pihak barisan perjuangan itu agar tidak main hakim sendiri. Di samping itu, pemerintah Indonesia menganjurkan agar warga Belanda tetap tinggal di dalam kamp interniran demi keselamatan mereka sendiri dan guna memudahkan menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban.

Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat banyak senjata dan perlengkapan perang bekas tentara Jepang jatuh ke tangan satuan tentara Republik Indonesia maupun anggota barisan perjuangan. Bekas tentara Jepang di Jawa Timur memahami perkembangan keadaan setempat dan menyadari tekad pihak Republik Indonesia sehingga bagi mereka akan merasa lebih aman jika tinggal di dalam kamp. Selain itu, demi keselamatan dan keamanan mereka sendiri, senjata yang dimilikinya diserahkan kepada Tentara Republik Indonesia. Keadaan yang sama juga terjadi di daerah Jawa Tengah. Selain itu, terdapat pula tentara Jepang yang melakukan jual-beli senjata dan menukar senjata dengan bahan pangan kebutuhan sehari-hari yang mereka perlukan, seperti yang terjadi di Ambarawa dan Salatiga.

Pada waktu itu, selain mata uang Jepang, terdapat pula mata uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) yang dikeluarkan oleh Republik Indonesia. NICA juga mengeluarkan mata uang. Namun transaksi perdagangan yang berlaku ketika itu lebih sering melalui sistem barter (tukar menukar barang).

Sehubungan dengan hal itu, Belanda menuduh Penguasa Jepang di Jawa Tengah, Mayor Jenderal Nakamura, telah memberikan senjata kepada Republik Indonesia (Polisi Militer) untuk melindungi garnisun Jepang dari serbuan laskar-laskar. Jepang yang seharusnya bertugas memelihara keamanan dan ketertiban ternyata minta perlindungan dan penjagaan oleh Polisi Militer Indonesia. Kekuasaan dari Tentara Republik Indonesia di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang sangat besar membuat Jepang di wilayah tersebut bertindak demikian sekalipun pimpinan mereka di Jakarta telah memberikan teguran kepada Mayor Jenderal Nakamura.

Selama bulan September, Oktober dan November 1945 telah terjadi pertempuran antara Sekutu dan Republik Indonesia karena bangkitnya rasa kesadaran dan semangat kebangsaan untuk mempertahankan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang berdaulat di rumah sendiri. Sementara itu, tugas Sekutu adalah untuk menyelenggarakan penyingkiran (conveyance) bekas tentara Jepang dan APWI yang banyak terdapat di kamp-kamp di daerah pedalaman di bawah kekuasaan Republik Indonesia.

Bagaimana terjadi persentuhan (encounter) antar kekuatan-kekuatan itu, dapat disimak dari beberapa peristiwa yang dilaporkan di bawah ini yang pada akhirnya memaksa pihak Sekutu mengakui kenyataan dan meminta agar Republik Indonesia membantu tugas mereka :

. . . bersambung

No comments:

Post a Comment