Translate

Friday, March 17, 2017

PELAKSANAAN PERINTAH LAKSAMANA MOUNTBATTEN (BAGIAN 1)

Seorang bekas Wakil Ketua Volkstraad Hindia-Belanda, Spit (waktu itu masih meringkuk dalam kamp tawanan Cimahi), yang dalam jajaran hukum tata negara Hindia-Belanda merupakan orang kedua setelah Gubernur Jenderal Starkenborgh. Dia bersama Letnan Gubernur Jenderal Van Mook dan didampingi oleh beberapa bekas pejabat tertinggi Belanda membuat rencana untuk mengambil alih pemerintahan di Indonesia pada tanggal 1 September 1945. Mereka mengadakan pertemuan dengan Kepala Staf Tentara Ke-16 Jepang di Jawa, Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto. Dalam pertemuan itu hadir juga bekas Gubernur Jawa Timur, Hogewind, dan beberapa pejabat Inggris dan Amerika dari kamp tawanan, termasuk juga Ny. van Starkenborgh.

Tetapi pejabat tinggi Jepang itu menolak untuk menyerahkan pemerintahan di pulau Jawa mengikuti hal yang sama terjadi di tempat lain (Hongkong, diserahkan kepada Gimson, Gubernur Hongkong). Sikap Yamamoto itu berpedoman pada instruksi dari Laksamana Mountbatten yang menegaskan bahwa semua bekas tawanan harus dikembalikan ke kamp semula. Spit wakil Volkstraad di pulau Jawa yang pernah ditawan di Cimahi kembali dimasukkan oleh Jepang ke dalam kamp, tetapi di Kramat, Jakarta.

Panglima Tertinggi Jepang memang telah menarik diri dari segala urusan pemerintahan. Dia hanya membatasi diri di dalam menjaga keamanan dan memusatkan perhatian pada urusan militer. Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa Jepang tidak mungkin menyerahkan pemerintahan pulau Jawa kepada Belanda. Dalam hal itu Spit dan bekas pejabat Belanda lainnya, kurang dapat memahami karena tidak menyadari situasi perkembangan politik dalam kamp yang serba terbatas. Perkembangan politik dan pertumbuhan semangat nasionalisme Indonesia selama ini, kurang mereka sadari.

Dalam pertemuan kedua dengan Jenderal Yamamoto yang berlangsung September 1945, para bekas pejabat Belanda itu sudah menyadari keadaan perkembangan  sebenarnya dan menerima petunjuk kebijaksanaan Laksamana Mountbatten selaku Panglima Tertinggi Sekutu untuk Asia Selatan/Tenggara. Setelah itu, para wakil Belanda tersebut membuat surat pernyataan, yang ditandatangani oleh Spit, Kolonel Voorts (perwira KNIL) dan Ny. van Starkenborgh yang kemudian disampaikan kepada seluruh kamp tawanan dan interniran di Jawa antara lain berisi pesan agar penghuni tidak meninggalkan kamp mereka kecuali yang sebelumnya memang sudah berada di luar kamp.

Pada kesempatan itu, Jenderal Yamamoto telah pula menunjukkan kepada mereka Proklamasi Indonesia merdeka disertai berbagai komentar sebagai tambahan dari isinya. Dikemukakan bahwa Komandan Tertinggi Jepang sendiri telah memerintahkan hal itu, sedangkan "semua distribusi bahan harus ditingkatkan". Tetapi Yamamoto tidak mengatakan tentang masalah serah terima pimpinan kamp kepada pimpinan lokal.

Khusus mengenai penghuni kamp wanita di Cideng, Letnan Kolonel Kawabe, Komandan Kamp Jakarta, menyatakan, 
"Cideng camp is very difficult to manage, and in return for the trouble we have taken to protect them, the Camp Commander suffered unbelievable mental torments".

Pada umumnya para komandan Jepang lainnya serta pejabat yang terakhir juga berpendapat sama.
Tugas pertama yang ditangani Tim RAPWI bersama tentara pendudukan Sekutu yang diturunkan di pulau Jawa adalah memulai menyelesaikan urusan kamp tawanan. Mereka melakukan pendataan untuk memperoleh angka yang jelas guna kepentingan pengurusan transportasi. Sesuai dengan laporan dari pihak pejabat bekas Hindia-Belanda, para penghuni kamp wanita sangat kecewa karena tidak ada pertolongan dari Tim RAPWI Belanda.

Sebenarnya, pihak Jepang sudah melakukan absensi setiap hari dan sistem administrasi mutakhirnya sudah siap digunakan. Namun pihak RAPWI tidak mempercayainya. Menurut pihak Belanda, daftar Tim RAPWI Belanda lebih dapat dipercaya. Tetapi ternyata terbukti bahwa daftar angka yang dibuat oleh Jepang lebih mendekati kebenaran, karena sejak awal September 1945 para bekas interniran selalu berpindah tempat sehingga datanya terus berubah. Kemudian Palang Merah membuat daftar dan secara resmi diterbitkan untuk laporan, karena Palang Merah Belanda tidak sesuai laporannya dengan kenyataan.

RAPWI Sekutu dan Palang Merah baru dapat mendarat pada bulan Oktober 1945. Pertolongan pertama kepada para interniran diselenggarakan oleh mereka yang bersedia memberi bantuannya. Dalam hal ini, siapapun diperbolehkan untuk memberi bantuan, apakah organisasi sosial atau orang-orang Indo-Belanda maupun kenalan lama mereka dari berbagai kebangsaan.

Di antara para warga interniran, adapula yang berani mengambil resiko melanggar kebijaksanaan pihak Sekutu untuk dapat menengok bekas rumah atau mencari sanak saudara, baik dengan cara absen atau membolos. Pada awalnya terdapat pula orang-orang Indonesia yang mengulurkan bantuannya kepada para interniran. Tetapi sejak awal September 1945 bekas interniran itu mendapat kesulitan untuk bekerja sama dan mendapatkan bantuan dari kalangan orang Indonesia karena perkembangan situasi. Pada bulan September 1945 beberapa orang mendirikan badan Palang Merah, seperti Gutwirth, mendirikan Palang Merah di Batavia dan Drg. Van Velden membentuk Palang Merah di Bandung.

. . . bersambung

No comments:

Post a Comment