Dalam kegiatan diplomasi Republik Indonesia untuk memperoleh pengakuan dunia, kiranya tepat sekali Singapura diberi tempat istimewa. Pada saat itu Singapura belum menjadi negara merdeka, namun perannya sebagai koloni Inggris yang jaraknya berdekatan dengan Kepulauan Indonesia dalam banyak hal sangat menentukan terhadap perjuangan bangsa Indonesia.
Seperti diutarakan oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas,SH : "Perwakilan Republik Indonesia di Singapura adalah perwakilan diplomatik yang pertama dibuka dan cepat berkembang menjadi pusat kegiatan perjuangan kita di luar negeri, bukan saja di bidang diplomatik, tetapi lebih-lebih sebagai pusat pengumpulan dan penyaluran dana serta alat perlengkapan bagi kepentingan perjuangan kemerdekaan di dalam negeri, pusat komunikasi yang memberikan bahan-bahan informasi tentang perkembangan tanah air kepada perwakilan-perwakilan Indonesia lainnya dan kepada dunia umumnya, dan juga sebagai kota transit bagi pejabat-pejabat Indonesia."
Pada bulan-bulan pertama eksistensinya, Republik Indonesia memang sangat memerlukan bantuan, baik di bidang ekonomi, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat maupun di bidang militer untuk membela kemerdekaan yang baru diproklamasikan. Indonesia tidak sedikit memiliki bahan-bahan mentah yang diperlukan dunia segera setelah usai perang, namun untuk memasarkannya Indonesia memerlukan pangkalan transit untuk menjual bahan-bahan mentah itu. Ketika itu Singapura merupakan kota dagang yang dapat menyerap bahan-bahan tersebut dan sebaliknya Indonesia dapat membeli hampor seluruh kebutuhannya dari Singapura.
Sesungguhnya, berhasilnya atau gagalnya misi-misi Indonesia di Singapura waktu itu, sebagian besar tergantung pada faktor non-Indonesia seperti misalnya :
- Sampai batas mana pemerintah kolonial Singapura mengizinkan wilayahnya dijadikan medan kegiatan operasi-operasi yang pada hakikatnya bertentangan dengan kepentingan salah satu negara anggota sekutunya.
- Apakah sektor komersial Singapura yang dikuasai oleh masyarakat Cina bersedia mengadakan hubungan niaga dengan suatu negara yang sedang dalam revolusi. Tentu saja hubungan dengan negara seperti ini mengandung resiko besar karena gangguan Angkatan Laut Belanda.
- Bagaimana sikap masyarakat Melayu terhadap perjuangan suatu bangsa serumpun yang sedang menuntut perwujudan aspirasi politiknya.
- Dan, apakah memang tersedia perlengkapan perang di Singapura dan sekitarnya.
Dengan tersedianya sarana itu, Singapura tercatat dalam sejara diplomasi Indonesia sebagai satu kota yang mempunyai peranan besar sekali dalam membantu perjuangan bangsa Indonesia.
Singapura termasuk tiga kota, bersama New Delhi dan Kairo yang menjadi pusat kegiatan Republik Indonesia terutama pada tahap permulaan revolusi. Di kota-kota itulah dasar-dasar hubungan luar negeri Republik Indonesia ditanamkan seperti diuraikan P.J. Drooglever. Proses ini berjalan baik sampai pertengahan tahun 1947, dan memberi kesempatan pertama bagi Republik Indonesia untuk memperkenalkan diri sebagai kekuatan regional yang mengupayakan dukungan dalam perlawanannya menghadapi Belanda.
Dari ketiga kota tersebut di atas, tak dapat disangsikan bahwa di Singapura, Republik Indonesia mempunyai akar yang paling dalam dan yang paling tua. Kota metropolitan Asia Tenggara itu, sejak dulu menawarkan pemukiman bagi masyarakat Indonesia, dan banyak orang di kota ini bersimpati terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia. Pada bulan Oktober 1945 disini sudah berdiri Persatuan Kaum Buruh yang kemudian berubah menjadi Persatuan Indonesia yang berupaya memajukan cita-cita Indonesia melalui berbagai cara. Kesempatannya banyak sekali, karena perdagangan di Singapura berkembang ramai. Segala macam barang dipertukarkan dengan karet yang didatangkan dari tetangganya Sumatera, daerah Republik Indonesia. Banyak lembaga dan organisasi Indonesia menjalin hubungan sendiri dengan Singapura, dan mendapatkan keuntungan melalui berbagai macam jalur.
Sebenarnya peranan Singapura secara resmi tercipta setelah Perjanjian Linggajati diratifikasi oleh Belanda dan Indonesia pada bulan April 1947. Maka Singapura menjadi tempat operasional yang lebih bersifat politik / diplomatik di samping menjadi pangkalan niaga bagi Indonesia. Gagasan Perdana Menteri Soetan Sjahrir untuk menginternasionalisasikan konflik Indonesia-Belanda, kini mendapat peluang untuk direalisasikan. Itu dapat dilakukan melalui pembukaan sejumlah perwakilan diplomatik Republik Indonesia di beberapa negara antara lain Singapura. Hal itu memberi arti tambahan bagi perwakilan Republik Indonesia tersebut karena mulai berfungsi sebagai sarana utama dalam upaya mencari dana untuk membiayai lembaga-lembaga diplomatik Republik Indonesia di berbagai negara asing.
Singapura pasca-Perang Dunia II dikenal sebagai depot persenjataan Sekutu yang terbesar di Asia Tenggara. Persediannya dapat dibeli dengan harga murah oleh siapapun yang memerlukannya, baik untuk keperluan sah ataupun tidak. Dengan berakhirnya peperangan di Asia, maka sejumlah besar senjata tertimbun di pangkalan militer Sekutu di pulau jajahan itu yang dinyatakan sebagai surplus atau barang kadaluwarsa. Maka menyimpan barang-barang itu tanpa batas waktu akan menjadi non-ekonomis dan riskan.
Oleh karena itu salah satu pemecahan yang mungkin ditempuh adalah dengan memusnahkannya, membuangnya ke dalam laut. Alternatif lain adalah dengan menawarkan stok senjata itu kepada pihak-pihak yang memerlukan, tapi tidak mampu memberlinya dari pedagang senjata yang terdaftar resmi. Selain itu, surplus senjata itu masih dapat dijadikan produktif dengan mempergunakannya sebagai sarana strategis dengan tujuan politik. Kiranya perpaduan antara berbagai alternatif itulah yang akhirnya mendasari proyek-proyek pemasokan alat perang untuk keperluan Angkatan Perang Republik Indonesia ketika itu.
(...bersambung ke bagian II)
No comments:
Post a Comment