Hubungan Aceh dengan Belanda mencakup masa yang cukup panjang yang dimulai tahun 1596 waktu belanda untuk pertama kali datang ke Aceh sampai Belanda kolonial menyerah kepada Jepang di tahun 1942. Antara dua waktu itu terdapat periode hubungan dagang dan perebutan monopoli perdagangan antara Belanda, Portugis, Inggris dan Amerika, yang sering melibatkan Aceh. Menyusul usaha Belanda dengan tipuan dan kekerasan untuk menduduki daerah Aceh yang meningkat dengan berlangsungnya perang Aceh dari 1873 sampai 1904 menurut Belanda. Tetapi sebenarnya perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda terus terjadi sampai Belanda menyerah pada Jepang tahun 1942 tanpa perlawanan yang berarti dan dalam beberapa hari saja.
Kedatangan Belanda di Indonesia dilakukan dalam tiga gelombang yang dinamakan ekspedisi. Ekspedisi I, yang dipimpin Cornelis Houtman sekitar 1596, karena intimidasi Portugis, tidak jadi singgah di Aceh melainkan terus ke Banten. Ekspedisi II, membawa Belanda ke Banten, walaupun sering diganggu Portugis. Baru pada ekspedisi III, tanggal 1 Juli 1599, Belanda dibawah pimpinan Cornelis Houtman singgah di Aceh dan mulai membeli lada. Di sini pun Portugis dengan segala daya upaya berusaha untuk mengacaukan. Dan memang terjadi berbagai insiden antar orang Aceh dengan Belanda atas hasutan Portugis.
Tahun 1602 Sultan Aceh Alauddin Riayat Syah mengirim suatu misi resmi ke Negeri Belanda. Misi Aceh tersebut dipimpin Tengku Abussamad. Salah seorang anggota misi, Abdul Hamid, meninggal dunia di Negeri Belanda dan dimakamkan dengan upacara resmi di Middelburg, Zeeland.
Selama kurang lebih dua abad kemudian tidak terjadi hal yang penting dalam hubungan Aceh-Belanda. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa Belanda tidak ada kegiatan lagi. Kenyataannya dalam dua abad itu Belanda dengan segala tindakan yang tercela, berhasil menegakkan kekuasaan kolonial di sebagian besar kepulauan Nusantara. Aceh adalah yang terakhir yang ingin dikuasainya.
Hubungan Aceh-Belanda "hidup kembali" setelah di tahun 1819 diadakan perjanjian Aceh-Inggris, yang dikenal dengan "Perjanjian Raffles". Isinya sangat menggelisahkan Belanda, khususnya Pasal 6.
Pada kenyataannya Perjanjian London itu merupakan pembuka pintu bagi Belanda untuk masuk ke Aceh yang sudah lama menjadi impiannya. Yang mendorong keinginan Belanda adalah kekayaan alam Aceh antara lain lada, pinang, emas dan minyak bumi. Juga letak geografis Aceh yang sangat strategis yang dapat menguasai Selat Malaka dan seperti Selat Sunda, sangat penting dalam pelayaran dari Eropa ke Asia bagian Timur dan daerah Pasifik.
Setelah perjanjian London melicinkan jalan, Belanda berupaya mengarahkan pelaksanaan Perjanjian Aceh-Inggris (Perjanjian Raffles) untuk kepentingan dirinya, Cara diplomasi Belanda untuk mencapai tujuan itu mula-mula menawarkan bantuan ribuan tentara untuk membantu Sultan terhadap siapa saja yang mau merongrong kekuasaannya. Sultan menolak, karena menduga dengan adanya tentara Belanda di wilayahnya justru dapat dipakai terhadap Sultan. Karena tawarannya ditolak, Belanda menjalankan diplomasi dengan menggunakan ancaman kekerasan, yaitu "diplomacy interspersed with the threat of coercion". Kecurigaan Sultan Aceh makin kuat setelah mengetahui nasib yang menimpa rakyat di Pulau Jawa dan Palembang, yang merupakan sahabat Belanda, namun akhirnya jatuh tersungkur di hadapan meriam-meriam Belanda.
Tindakan kekerasan Belanda terhadap Aceh yang sebenarnya bertentangan dengan Perjanjian London, mencontoh "gunboat diplomacy" Amerika terhadap Aceh tahun 1832 yang menghancurkan Kuala Batu. Gubernur Jenderal Belanda di Batavia mengirim kapal-kapal perang yang berlayar hilir mudik di perairan Aceh dengan maksud mengintimidasi dan "mengajar rakyat Aceh bagaimana seharusnya menghormati bendera Belanda".
Belanda juga menyerang Barus (Aceh Selatan) karena penguasa daerah menolak permintaan Belanda supaya Barus memisahkan diri dari Kerajaan Aceh dan membuat pernjanjian tersendiri dengan Belanda. Protes Inggris atas serangan tersebut tidak diindahkan Belanda.
Politik ekspansionis Belanda dikendalikan oleh C.P. Elout, Gubernur Militer Belanda di Sumatera Barat berkedudukan di Padang, setelah perang Padri dimenangkan Belanda. Atas petunjung C.P. Elout, Belanda dengan kekerasan senjata menduduki beberaoa tempat strategis di pantai Sumatera Timur.
Hal ini benar-benar menimbulkan teaksi keras Inggrisyang menudud Belanda telah melanggar Persetujuan London. Karena itu Belanda menghentikan operasi-operasi. Tetapi hal itu tidak berarti Belanda melepaskan niatnya untuk menguasai, bahkan menduduki, seluruh wilayah Kerajaan Aceh.
Untuk menutupi maksud yang sebenarnya itu, Belanda menyampaikan hasrat untuk mengadakan perjanjian perdamaian dan persahabatan dengan Kerajaan Aceh. Sultan Aceh berdasarkan perjanjian Aceh-Inggris (Perjanjian Raffles), mengadakan konsultasi dengan Gubernur Jenderal Inggris di Singapura, yang menjawab bahwa hubungan baik dengan Belanda mungkin akan berguna bagi Kerajaan Aceh. Oleh sebab itu, tahun 1857 Jenderal van Swieten, Gubernur Sumatera Barat yang mewakili Gubernur Jendral Hindia-Belanda dan Sultah Aceh menandatangani Perjanjian Perdamaian, Persahabatan, dan Perdagangan tanggal 30 Maret 1857, yang kemudian disahkan oleh Gubernur Jenderal Hindia-Belanda tanggal 9 Mei 1857.
No comments:
Post a Comment