Translate

Wednesday, January 7, 2015

HUBUNGAN ACEH DENGAN AMERIKA

Hubungan dagang antara Aceh dan Amerika dimulai sejak tahun 1789. Pelabuhan-pelabuhan di Aceh di sebelah barat (the pepper coast) tiap tahun ramai dikunjungi kapal-kapal yang datang dari berbagai kota besar di Amerika. Kadang-kadang sampai 42.000 pikul lada (kurang lebih 3.000 ton) setahun diangkut ke Amerika, Eropa dan Cina. Selama itu tidak ada satu insiden terjadi yang mengganggu hubungan Aceh-Amerika.

Insiden terjadi 42 tahun kemudian, yaitu tanggal 7 Februari 1831. Sebuah kapal Amerika yang sedang berlabuh di Kuala Batu (Aceh Barat) dibajak oleh sekelompok penduduk. Tetapi kapal itu dapat direbut kembali oleh kapal-kapal Amerika lainnya yang kebetulan berada diperairan Kuala Batu.

Dalam konfrotasi itu tiga anak buah kapal Amerika gugur. Ada dugaan keras bahwa insiden tersebut diprovokasi oleh Belanda atau Inggris dengan maksud supaya Amerika meninggalkan Aceh.

Kejadian itu dianggap sangat serius oleh pemilik kapal yang mendesak Presiden Amerika, Jackson, untuk bertindak tegas dan menghukum yang bersalah serta menuntut kerugian dari pemerintah Aceh. Pemerintah Amerika mempersiapkan dan mengirim kapal perang Potomac dengan beberapa ratus marinir di bawah pimpinan Komodor John Downes ke Kuala Batu. Sesampainya di tempat bulan Februari 1832, Kuala Batu ditembaki hingga seluruhnya jadi abu dengan tidak mempedulikan korban-korban. Inilah "gunboat diplomacy" Amerika terhadap Aceh.

Tindakan Amerika ini oleh Belanda dijadikan contoh untuk tindakan-tindakan kekerasan dalam usahanya menundukkan Aceh. Dalam rangka inilah pada suatu waktu Sultan Aceh berusaha mendapatkan bantuan Amerika menghadapi kemungkinan penyerangan Belanda untuk menaklukkan Aceh.

Untuk maksud itu Sultan Alauddin Mahmud Syah II mengutus Syahbandar Panglima Tibang Muhammad ke Singapura untuk berunding dengan Konsul Amerika, Studder. Namun, apa yang dibicarakan belum dapat disusun sebagai rancanagan perjanjian, karena Studder tidak berwenang membuat perjanjian dengan negara asing. Yang diperlukan adalah surat resmi dari Sultan Aceh kepada Presiden Amerika dan disertakan rancangan perjanjian yang oleh Studder segera akan diteruskan ke Washington.

Tetapi usaha Sultan Aceh dikacaukan oleh seorang pengkhianat yang bernama Tengku Muhammad Arifin, anak seorang jaksa di Muko-muko, Bengkulu. Pengkhianat Tengku Muhammad Arifin dibantu oleh Konsul Inggris, Read, menyusun suatu rancangan perjanjian palsu dengan mencontoh perjanjian Brunei-Inggris. Rancangan palsu disebarluaskan Belanda dan Belanda juga yang mendalangi provokasi ini. Kejadian ini menempatkan Konsul Amerika dalam posisi yang sulit, karena Belanda bertindak sedemikian rupa sehingga orang percaya bahwa naskah itu dibuat oleh Sultan Aceh bersama Konsul Amerika secara rahasia. Insiden ini mendapat perhatian tingkat tinggi di Den Haag, London dan Washington. Pemerintah Amerika di Singapura terlibat dan Studder diinstruksikan untuk tidak campur tangan. Ini berarti lampu hijau bagi Belanda untuk melanjutkan rencana jahatnya terhadap Aceh dengan menyatakan perang.

Sesudah perang Aceh-Belanda berjalan empat bulan, naskah surat Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali, Kuasa Sultan Aceh, kepada Presiden Amerika tertanggal 16 Agustus 1873 dengan melampirkan rancangan Perjanjian Persahabatan telah siap disusun. Oleh Konsul Studder dokumen-dokumen disampaukan ke Washington bulan Oktober 1873. Tetapi atas pertimbangan perang sudah pecah, Surat kuasa Sultan dan naskah perjanjian tidak dipertimbangkan lagi dan langsung disimpan dalam arsip State Department, sampai diungkapkan oleh Nur el Ibrahimy.

Dengan demikian ada dua naskah perjanjian yang berbeda :

Versi Belanda : 
  1. Belum dituangkan ke dalam bentuk formal naskah perjanjian;
  2. Merupakan naskah tunggal yang terdiri dari 12 butir;
  3. Belum tertanggal;
  4. Dibuat oleh agen/mata-mata Belanda yaitu pengkhianat Tengku Muhammad Arifin dengan bantuan Konsul Inggris, Read, supaya dapat menuduh Sultan Aceh Alauddin Mahmud Syah II, mengkhianati Perjanjian Aceh-Belanda dan menuduh Amerika turut campur tangan dalam masalah Aceh-Belanda;
  5. Isinya mengesankan bahwa :
  • Dengan adanya perjanjian itu status Aceh berubah menjadi protektorat;
  • Sultan membebaskan warga Amerika dari kewajiban tunduk kepada hukum pengadilan Aceh;
  • Sultan memberi hak kepada warga Amerika untuk membeli dan menjual tanah di daerah kekuasaan pemerintah Aceh;
  • Sultan memberi kelonggaran kepada warga Amerika mengenai pembayaran cukai dan pajak, yaitu lima persen lebih murah dari tarif yang berlaku.
Versi Aceh:
  1. Sudah dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian dan dilengkapi cap Sultan;
  2. Merupakan naskah dua bagian : umum dan khusus janji (commitment) Sultan kepada pemerintah Amerika. Tiap-tiap bagian terdiri dari 6 pasal;
  3. Sudah tertanggal;
  4. Salah satu butir menjelaskan bahwa Sultan secara terus terang menghadiahkan Pulau Weh (Sabang) kepada Amerika dengan harapan agar disebarkan keadilan ke seluruh penjuru dan meningkatkan fungsi pulau itu menjadi pelabuhan yang ramai.
  5. Tidak ada hal-hal seperti yang tersebut dalam versi Belanda.

No comments:

Post a Comment