Kedudukan VOC atau Himpunan Pengusaha Hindia Timur mengalami perkembangan pesat, semakin kuat dan berpengaruh.
"Compagnie" dalam bahasa setempat menjadi "kompeni" atau "kumpeni". Dalam perang kolonial istilah ini tidak lagi merujuk kepada perusahaan dagang, melainkan kepada pemerintah kolonial Belanda dan khusus kepada tentara kolonialnya ("Marechaussee") yang terkenal kekejamannya.
VOC, sebagai perusahaan dagang atau badan usaha, praktis berkuasa penuh sampai menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. VOC didalangi oleh pemerintah Belanda di Nederland yang hanya memikirkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Khususnya setelah didirikan pusat kegiatannya di Jayakarta, yang kemudian sebagai Batavia menjadi ibukota Nederlands Indië atau Hindia-Belanda, jajahan Belanda meliputi seluruh wilayah Kepulauan Nusantara, kecuali semenanjung Malaya, bagian utara Borneo (Kalimantan) dan Timor Timur.
Untuk menghalangi meningkatnya pengaruh Inggris, VOC tetap mempertahankan bentengnya di Banten. Karena semakin meruncing permusuhan antara Banten dan VOC, Belanda menjalankan blokade ekonomi terhadap Banten yang mengakibatkan harga lada di pasaran Banten menurun drastis. Empat bulan berlangsung embargo VOC, sehingga pedagang-pedagang asing tidak dapat membeli lada dari Banten, karena menghadapi ancaman Belanda. Blokade Belanda berakhir setelah dibuat perjanjian antara Mangkubumi Arya Ranamanggala dengan VOC yang menetapkan :
- Belanda bersedia membantu Banten apabila diserang negara lain, tetapi jika Banten menyerang negara lain, Belanda tidak akan membantunya.
- Belanda diperbolehkan berniaga dengan rakyat Banten dan pedagang Belanda diperbolehkan menetap di Banten dan tidak dikenakan pajak.
- Orang Eropa, selain orang Belanda, tidak diizinkan menetap di Banten.
Dengan maksud lebih memperkuat kedudukannya, Belanda mengincar tempat dan pelabuhan strategis, yaitu Jayakarta. Perjanjian antara Pangeran Jayakarta dan VOC mengenai pendirian benteng VOC di Jayakarta ditandatangani tahun 1610 dan isinya adalah :
- Orang Belanda diperbolehkan membeli tanah di Jayakarta seluas 50 depa dengan harga 1.200 Real.
- Barang yang dibeli orang Belanda dikenakan pajak, kecuali jika barang itu dibeli dari pedagang Cina.
- Barang makanan sehari-hari tidak dikenakan pajak.
- Belanda akan membantu Jayakarta jika diserang musuh, tetapi tidak, jika Jayakarta yang memulai permusuhan.
- Orang Spanyol dan Portugis tidak diperbolehkan berdagang di Jayakarta.
- Belanda diperbolehkan mengambil kayu untuk bahan pembuat kapal di pulau-pulau di depan Teluk Jayakarta.
- Pegawai dari kedua pihak akan dikembalikan.
- Pangeran Jayakarta bersedia menagih piutang orang Belanda jika diminta.
- Kedua pihak akan menghukum warganya yang melakukan tindak pidana.
Benteng yang didirikan Belanda ternyata bukan dalam bentuk loji, tetapi diperlengkapi dengan meriam. Hal ini ditentang keras oleh Pangeran Jayakarta, namun tidak dapat mencegahnya. Sebagai tindakan balasan, Pangeran Jayakarta mengizinkan semua orang asing mendirikan benteng pertahanannya sendiri, yang segera dilakukan oleh Inggris dan Cina. Hal ini sebaliknya menimbulkan protes J.P. Coen. Dia memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan benteng Inggris. Terjadilah perang terbuka Inggris-Belanda di Teluk Jayakarta. Belanda mendesak dan J.P. Coen dengan sebagian pasukannya melarikan diri ke Ambon untuk mencari bantuan.
Karena menghadapi musuh yang sama, diadakanlah perjanjian antara Pangeran Jayakarta dan Inggris untuk menyerang benteng Belanda. Belanda kemudian pun menyerah. Tetapi setelah tiba bantuan dari Srilanka dan Ambon, Belanda berhasil merebut seluruh kota Jayakarta. Sejak itu kota tersebut dinamakan Batavia.
Sultan Banten Abdulfattah yang dinamakan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672), dengan tegas menentang segala bentuk penjajahan bangsa asing atas negaranya. Mengembalikan Jayakarta ke dalam pangkuan Banten merupakan cita-cita utamanya.
Untuk itu diusahakan peningkatan hubungan baik dengan sesama negara Nusantara seperti Cirebon dan Mataram, bahkan dengan negara-negara asing Turki, Inggris dan Denmark yang banyak memberikan bantuan persenjataan.
Setelah terjadi beberapa pertempuran dengan Belanda, pada tahun 1658 diadakan gencatan senjata. Keadaan damai dipergunakan Sultan Abdulfattah untuk mempersiapkan diri terhadap kemungkinan serangan Belanda. Guna memenuhi kebutuhan senjata api dan senjata berat lainnya, Sultan mengadakan hubungan khususnya dengan Inggris.
No comments:
Post a Comment