Untuk pertama kali Kerajaan Sriwijaya atau shih-li-fo-shih tersebut dalam tulisan peziarah beragama Buddha dari Cina, I-Ching atau I-Tsing, yang berkunjung tahun 671 setelah berlayar kurang dari 20 hari dari Canton, dalam perjalanannya ke India. Sumber-sumber sejarah Cina lain menyebut, bahwa pada permulaan abad ke-6 ada kerajaan "Kantoli" dengan ibukotanya Palembang yang menjadi bagian kerajaan Buddha Sriwijaya yang berkuasa akhir abad ke-7. Juga sudah dikenal adanya dua kerajaan yang sangat berkuasa antara abad ke-7 dan ke-9, yaitu Sriwijaya dan Sailendra (Kantoli).
Dinasti Sailendra memerintah di Jawa Tengah selama abad ke-8 dan ke-9 dan pada masa itu kebudayaan India mencapai puncaknya, yang antara lain terbukti dengan pendirian Candi Borobudur. Pertengahan abad ke-9 dinasti Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Sriwijaya.
Dengan ibukotanya di Palembang, Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan maritim dan niaga yang meliputi wilayah hampir seluruh Sumatera, Semenanjung Malaya dan pada suatu waktu juga bagian barat Pulau Jawa (Sunda-Banten).
Dasar kekuatan Sriwijaya adalah :
Dinasti Sailendra memerintah di Jawa Tengah selama abad ke-8 dan ke-9 dan pada masa itu kebudayaan India mencapai puncaknya, yang antara lain terbukti dengan pendirian Candi Borobudur. Pertengahan abad ke-9 dinasti Sailendra yang berkuasa di Kerajaan Sriwijaya.
Dengan ibukotanya di Palembang, Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan maritim dan niaga yang meliputi wilayah hampir seluruh Sumatera, Semenanjung Malaya dan pada suatu waktu juga bagian barat Pulau Jawa (Sunda-Banten).
Dasar kekuatan Sriwijaya adalah :
- Kemampuannya untuk mengawasi dan menguasai jalur-jalur perdagangan laut. Hubungan dagangnya tidak terbatas pada sesama negara Kepulauan Nusantara, tetapi juga dengan Cina dan India.
- Sriwijaya juga merupakan pusat agama Buddha Mahayana dan menjadi tempat persinggahan para peziarah dari Cina dalam perjalanan mereka ke India. Raja-raja Sriwijaya juga membangun tempat-tempat peribadatan di Negapalam, India dan perbaikan sebuah kuil di Canton (Cina).
Semula barang-barang keperluan Cina diangkut oleh kapal-kapal asing dan kebanyakan dari Nusantara. Karena itu diperlukan entrepot di Malaka yang dikuasai Sriwijaya, setelah menaklukkan kerajaan-kerajaan setempat. Hal itu juga diperlukan untuk menjamin pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
Tetapi keadaan berubah waktu kapal-kapal dagang Cina mulai berdatangan dan langsung menuju tempat-tempat yang menghasilkan rempah-rempah dan barang-barang lain yang dicari pedagang Cina. Karena itu entrepot Sriwijaya di Malaka tidak ada artinya lagi. Perdagangan Sriwijaya merosot tajam, demikian juga hegemoninya, yang menyebabkan mulai timbul keretakan dan perpecahan dalam kerajaan.
Kemunduran Sriwijaya ini dimanfaatkan oleh Kerajaan Cola di India, suatu negara maritim dan niaga juga, untuk menyerang Sriwijaya. Cola menganggap bahwa Sriwijaya merupakan penghalang utama dalam pelayaran dari Asia Selatan ke Asia Timur.. Tahun 1025 Cola merebut Palembang dan bagian-bagian lain Sriwijaya. Sriwijaya menjadi kerajaan yang kecil dan tidak berkuasa. Maka terjadilah perebutan kekuasaan oleh Jambi dan berkembanglah pelabuhan-pelabuhan baru sebagai pusat perdagangan Internasional.
Namun pada tahun 1377 Jambi dan seluruh Kerajaan Sriwijaya diserbu dan menjadi bagian Kerajaan Majapahit yang bertahan sampai permulaan abad ke-16.
Kerajaan-kerajaan Islam yang terdiri setelah masa Majapahit pada permulaan abad ke-19 menghadapi berbagai upaya Belanda dan Inggris untuk menanam kekuasaan kolonial mereka di wilayah Sumatera. Inggris untuk beberapa lama menduduki Bengkulu, tetapi diserahkan kepada Belanda tahun 1824, berdasarkan Treaty of London.
Raja Mohammad Fakhruddin yang memerintah Jambi (1833-1841), menyerbu Palembang di tahun 1833 tetapi dikalahkan Belanda. Bahkan Jambi pun harus mengakui kedaulatan Belanda, yang dengan demikian dapat mengukuhkan kekuasaannya atas Sumatera Selatan.
No comments:
Post a Comment