Translate

Wednesday, January 7, 2015

HUBUNGAN ACEH DENGAN INGGRIS

James Lancaster pada tahun 1590 melakukan pelayaran ke Asia dan tahun 1599 sampai di Aceh dan Penang yang waktu itu telah dikuasai Kerajaan Aceh. Tahun 1602, pada pelayaran kedua, Sir James Lancaster diangkat menjadi Utusan Ratu Inggris untuk menghadap Sultan Aceh, Alauddin Riayat Syah, dengan membawa surat Ratu Elizabeth. Surat itu sama arti dan nilainya dengan Surat-surat Kepercayaan (Credentials) seorang duta besar dalam praktek diplomatik masa kini. Pertemuan menghasilkan perjanjian persahabatan yang membuka kesempatan bagi Inggris untuk meluaskan perdagangan dengan komoditi emas dan lada. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan atau Maklumat Raja Aceh. Inggris berjanji akan mengusir Portugis dari Pantai Aceh.

Sejarah membuktikan bahwa lambat laun dalam abad-abad berikutnya, Inggris dapat memperkuat kedudukannya di Semenanjung Malaya dan pada permulaan abad ke-19 sudah mempunyai Gubernur Inggris yang berkedudukan di Penang.

Pada tahun 1816, Inggris berperan lagi dalam hubungannya dengan Aceh, waktu terjadi suatu pemberontakan di Aceh yang didalangi Sayid Husin, seorang saudagar Arab warga negara Inggris yang tinggak di Penang. Dengan bantuan pemberontak di Aceh, Sayid Husin berhasil menjadikan anaknya sultan Aceh dengan nama Saiful Alam. Permintaan bantuan Sultan Aceh Alauddin Jauhar Alam Syah (1795-1824) kepada Inggris untuk mengatasi pemberontakan,oleh Inggris selama bertahun-tahun tidak ditanggapi, karena Inggris tidak mau berpihak dan campur tangan (neutrality and non-interference).

Tetapi waktu melihat Belanda sedang bersiap-siap untuk membantu Sultan Aceh secara konkret, yaitu memberi bantuan militer untuk menumpas pemberontakan, Inggris segera mengubah sikap. Pertimbangan Inggris adalah selain khawatir terhadap penetrasi Belanda ke Aceh, yang dimanifestasikan dengan kebijakan memberi bantuan kepada Sultan Jauhar Alam Syah, Inggris agak cemas pula dengan meluasnya aktivitas dagang orang-orang Amerika di Aceh Barat dan Aceh Selatan, yang merupakan daerah lada yang paling utama (the pepper coast). Kegiatan tersebut oleh Inggris diperkirakan akan mempersempit ruang gerak perdagangannya. Hal ini merupakan motivasi yang mendorong Inggris meninggalkan politik neutrality and non-interference.

Sejak tahun 1801 peningkatan hubungan dagang antara Amerika dan Aceh sangat merisaukan Inggris, sehingga untuk menghambat perkembangannya, Inggris menempuh beberapa jalan yang tidak wajar. Antara lain merampas kapal-kapal Amerika dan mengikat kontrak jangka panjang dengan produsen-produsen lada secara paksa. Maksudnya supaya produsen-produsen itu tidak menjual ladanya kepada Amerika.

Persaingan yang sengit antara Inggris dan Amerika sempat menyebabkan bentrokan bersenjata antar kedua pihak pada tahun 1812. Bentrokan itu baru dapat diakhiri tahun 1815. Namun demikian, kegiatan dagang Amerika di Aceh bukannya menjadi surut melainkan bertambah maju, yang oleh Inggris dianggap membahayakan kepentingannya.

Untuk mengatasi situasi ini, Inggris berupaya mengadakan persetujua yang dapat meningkatkan hubungan persahabatan dengan Aceh, seperti yang pernah terjadi beberapa abad yang lampau yang dibuat Sir James Lancaster tahun 1602. Inggris mengirim perutusan ke Aceh yang dipimpin Sir Stamford Raffles. Perundingan berhasil dengan penandatanganan perjanjian persahabatan dan aliansi tanggal 22 April 1819. Perjanjian yang ditandatangani Sultan Jauhar Alam Syah dan Raffles itu dikenal sebagai "Raffles Treaty of 1819".

No comments:

Post a Comment